Monday, March 28, 2011

Membangun Motivasi, Menjalankan Aksi, Menuai Reaksi (Jogja-Blitar: Melawan Biasa)

Bismillah, saya mau menulis!

Dasar pemikiran, latar belakang:
Lima bulan saya belum pulang, sebenarnya bukan alasan yg cukup kuat utk menjadi latar belakang perjalanan ini.
Tapi entahlah, dulu saya memang sempat pengen blitar-jogja, atau jogja-jakarta. Lebih dulu lagi saya pengen minimal blitar-karangkates.
Lalu setiap saya kemana—mana, Semarang waktu itu, Jakarta beberapa kali, saya pengen bawa sepedaaa. Alasannya sederhana: naik sepeda lebih bisa menikmati perjalanan dengan leluasa, ga terikat jadwal dan rute alias bisa kapan saja. Lagian kalau cuma mau muter2 kota Semarang atau Depok misalnya, kan juga ga bakal capek amat.
Keinginan-keinginan itu sementara terendap karena memang belum memungkinkan sebab tak punya sepeda lipat. Hee…
Lalu apa sebenarnya?
Saya bosan hidup monoton. Sempat dulu ingin sepedahan sekedar ke pantai jogja, belum jadi2. Saya merasa belum liburan beneraaan, ga berkesan!
Ya semua berawal dari sebuah obsesi, lalu diniati.
Tempo hari saya pernah melihat rombongan pesepeda Kompas dgn rute Surabaya-Jogja-Jakarta.
Hadoohh, andai waktu itu tak bersamaan dengan jadwal ujian semester, insyaallah saya pasti ikuuutt.
Setidaknya keinginan itu benar menggebu-nggebu.

Memperkaya hati
Terdengar sumbang ya rasanya kalau saya bilang begitu. Tapi apa mau dikata, setiap perjalanan yg saya lakukan hampir seluruhnya diniatkan untuk wisata kebatinan. Hahaha.. mungkin jiwa saya terlalu sering merasa gersang ya.. -.-
Esensi paling tersembunyi dari perjalanan itu adalah seni memperkaya hati.
Bayangkan, apa kita cukup puas melihat informasi dari layar kaca saja, dari jejaring informasi saja, bla bla bla.. Sederhananya, masak kita ga pengen sih menyaksikan keramaian mudik misalnya, melihat lebih dekat masyarakat kota dan pedesaan, ..
Bla bla bla (lagi)
(Itu juga argumentasi mas Heri ketika saya begitu dilema mempertanyakan esensi naik gunung sekian tahun yg lalu).
Oke, anda boleh beranggapan bahwa mungkin itu alasan yg dibuat2.

Saya ingin membahagiakan orang tua saya dengan cara yg tidak biasa. (bah, tengik rasanya saya ngomong begini)
Kembali ke awal lagi kalo begitu.
Saya pengen liburan. Dan setiap orang punya cara tersendiri memaknai apa itu liburan.
Birrul walidain (berbakti pada orang tua) yang selama ini disinggung-singgung, juga berperan besar terhadap tercetusnya niat bersepeda ini.
Aneh memang kalau ini disebut saya pengen bertemu ibu dalam keadaan paling berkesan.

*dan coba saja lihat nanti bagaimana sambutan mereka* ;)


Ini investasi jangka panjang.

Saya tidak akan pernah yakin bisa untuk memulai jika sebelumnya belum pernah mencoba sesuatu yang dianggap ekstrim. Ya, tidak akan ada ceritanya impian kemana-mana tanpa dilekasi dari suatu tempat dimana kita menjejakkan kaki sekali waktu.

dan saya yakin ada bentuk jangka panjangnya yang tidak hanya berkaitan dengan obsesi diri sendiri, yang mungkin terlalu dini jika saya utarakan hari ini.

Saya yakin, semua tentu berharap tekad dan semangat semacam ini dapat diaplikasikan ke hal-hal lain yang kiranya jauh lebih bermanfaat dan pasti: kuliah barangkali. Ya, ya, saya tak memungkiri itu. Dan saya pun bukan tak ingin :)

(langsung) Kronologi Peristiwa (saja ya!)
Sudah lama rasa deg-degan saya menghantui.
Saya selalu menghindar jika ditanya pulang ke Blitar naik apa. Saya tak mau menimbulkan keterkejutan2 bahkan sebelum saya sendiri berangkat. Hadodoh..
Sebelumnya, kalau anda setia dgn update-an status FB saya (hehhe, PD), rencana ke Blitar bersepeda ini sudah tercetus sejak liburan H-10 puasa sepertinya.
Saya sempat kecewa tak jadi pulang. Jika tidak sebelum ramadhan, berarti kapan lagi??
Tapi justru bersyukur setelahnya karena penundaan itu memunculkan rencana yg saya anggap lebih yahud. Hehe..
Ibuk yang rencananya juga akan menengok saya ke Jogja saya tahan demi alasan bla bla bla..
Biarin. Saya pengen kekangenan yg saling kami rasakan memuncak hingga momen bertemu paling indah itu tiba. Hahhaha… *jane yo biasa wae..

Singkat cerita, hari sudah semakin dekat dengan rencana kepulangan.
Saya sudah men-download beberapa peta mudik Pulau Jawa 2010. Hehe..
Dan serunya, saya sempat berbincang dgn teman saya dari Jakarta yg bapaknya juga baru bersepeda Jakarta - Jogja selama satu minggu.
Hadodoh, rasanya saya dilecut tiada tara. Belum lagi info dari teman saya yg bilang pasti bisa karena ada orang Malang-Jakarta jalan kaki saja sanggup.
Dan lain seterusnya.
Weh, weh, serasa seluruh dunia (majas totem pro parte apa pars pro toto hayooo.. ;p) mengamini niat saya. Apalagi yg harus saya ragukan? xD

Sebenarnya saya berencana berangkat Jumat shubuh dengan perkiraan sampai hari Senin pagi. Ternyata harus ditunda esoknya karena masih ada tanggungan dan mau beli ini itu.
Jumat malam, rasanya saya benar-benar gelisah. Saya tidak bisa tidur seperti biasanya. Pikiran ruwet melihat barang-barang yang belum ditata.
Saya putuskan untuk ngeprint peta dahulu.
Lalu pukul 1 tertidur dan bangun kembali pukul 3 pagi. (Kenapa bagian ini terasa tidak penting sekali??)
Singkat cerita, pukul 7 pagi barulah semuanya siap. Tak dapat saya hindari kala teman-teman kosan yg sama-sama berangkat mudik hari itu menanyakan akan naik apakah saya.
Huwa.. bla bla bla.. akhirnya prosesi keberangkatan lebih terasa seperti perpisahan.
Kami foto2 bersama, seakan saya tak akan pulang mungkin. Hahhaha..
Foto >

Menyusuri sepanjang jalan Solo atau jalan Laksda Adi Sucipto, masih saya temui banyak toko oleh-oleh khas Jogja. Hm, masih ingin beli sesuatu lagi, sayang, saya tak bisa lagi menambah muatan. :D~
Dalam perjalanan, saya masih menyempatkan diri berkirim-terima pesan singkat, kadang juga berhenti sebentar di pinggir jalan yang teduh. Bukan hanya lantaran lelah, tapi lebih nyaman smsn dan facebook-an tanpa mengendara kan?! Haha..
Pukul 11.30 WIB kira-kira, jalanan semakin panasnya. Sarapan bersama teman-teman yang sahur tadi sudah lenyap efeknya. Bingung mau makan dimana, akhirnya saya berhenti di sebuah warung makan. Seingat saya masih di Klaten waktu itu. Ckck.. Panas, haus, lapar jadi satu.
Saya makan sepiring besar nasi + sayur gambas. Eh, sebelumnya juga sudah mampir di toko beli kratingdaeng + coklat + softdrink deng! :D
Jangan mikir macam-macam, hari pertama perjalanan tersebut saya memang nggak dikasih izin puasa oleh Yang Maha Kuasa. Hehe..
Tak seperti biasanya, saya makan lamaa sekalii. Huaahm..
Foto à

Solo masih kurang 20an km lebih. Saya harus segera melanjutkan perjalanan. Huwaa, Klaten kenapa begitu luasnyaaaa, keluh saya waktu itu. :D

Saya lupa sebelum itu atau sesudah itu saya melewati ruas-ruas jalan arah ke Bayat.
Lalu, sempat bingung juga: Lha kok Boyolali? arah kiri, Sukoharjo ke kanan, bla bla bla..
Oh iya, ternyata kan memang begitu. Takutnya saya nyasar ke Boyolali e..
Pokoknya lanjut ke timuuuuur, ikuti saja jalan raya besar.
Beruntung saya berbekal peta, setidaknya tidak sama sekali buta.
Sekali-sekali saya memang turun dari sepeda, bertanya ke orang yg saya jumpai, seringkali pak becak, untuk memastikan benarkah itu arah Delanggu misalnya, atau kemanakah jalan yang lebih dekat untuk menuju Solo kota, Karanganyar, dst.

Kartasura.
Senangnyaa.. akhirnya terbebas dari cengkeraman Klaten yang seolah tak berujung! Hahaha..
Sepanjang jalan lurus yang saya jumpai, kok Kartasuraaa, Sukoharjooo..
Saya pengen yang bertuliskan Solo gituu..
Ah, mungkin belum sampai kota..
Sekitar pukul satu siang, rasanya saya berada di ruas-ruas jalan yang mirip dengan daerah UNS. Huwoo, saya senang. Sejenak saya memutuskan mampir di angkringan (kalau di Solo sebutannya Hek ya?) yang sepertinya baru saja buka.
Kebetulan soft drink saya juga sudah habiiiss..
Saya beli es teh. Saya minta es tehnya dimasukkan ke botol soft drink (mulai sekarang sebut saja mijone. ;p) supaya nanti mudah diminum sewaktu-waktu. :D
Di situ saya sempatkan bertanya Karanganyar masih jauh atau tidak, katanya masih.
Kalau UNS? Masih juga. Hadeehh.

Eh, sewaktu menyusuri jalur tersebut, saya sempat buru-buru mengetik lewat tuts hp:
13.02 :: jika tidak bisa memaksa orang lain untuk sabar, paksalah dirimu sendiri. Sabar dalam berkendaraan itu penting. (huwah, nyaris tabrakan motor)

Tetapi cukup senang menelusuri jalanan Solo itu. Mulai dari angkringan tadi kan terus jalanan khusus becak dan sepeda. Yeah, sampai disitu saya terpikir, soal tatanan jalur sepeda dan becak, bisa jadi Solo selangkah lebih maju daripada Jogja yang sementara ini ‘cuma’ dengan jatah marka kuning2nya.
Hm..
Apalagi sepertinya di tepi2 jalan itu terdapat halte. Akankah itu halte trans maksudnya??

Pukul 13.32 :: di tengah jalanan yg sedikit menanjak:
“Solo, semangatku lebih besar dari luasmu!” (@ jl. Ir.H.Juanda)

Satu jam lepas dari situ, olala, saya sudah menjumpai rambu lalin yang menunjuk arah Surabaya dan Karanganyar, serta Surabaya lewat Sragen. Kalau ke barat kayaknya ga jauh dari pintu masuk UNS deh. Apa iya ya?
Yeah, oke, semakin ada titik terang pokoknya.
Lekas saya giat mengayuh ke arah Karanganyar tersebut. Melewati jembatan yang di sebelahnya ada posko mudik polisi tampaknya. Ingin saya mampir sejenak, ah, tapi nanti sajalah di depan pasti ada lagi. Saya terlanjur bersemangat untuk segera mencapai Karanganyar.
:D

Dan, memang sehabis jembatan besar itu tadi adalah perbatasan Kabupaten Karangaanyar dengan Solo. Hoyei. (cek foto deh)

Asiikk, saya menjumpai rambu lagi jalur alternatif Magetan dan arah Tawangmangu. Kalau ke kiri ke arah Surabaya yang lewat Sragen itu tadi.
Whouwoo..

Terus, terus, lanjut teruuss.
Sekitar pukul 3 sore, saya memutuskan untuk beristirahat di masjid. Namanya masjid Kompak.
Di situ beberapa orang juga tampak sedang beristirahat. Saya pengen mandiiii, huwah. Sayang air di KM masjid tak memadai.
Lalu seorang bapak masuk masjid, tadarus dengan pengeras suara.
Hmm.. selama ramadhan belum pernah saya merasa ‘sekecil’ itu. Sebergetar kala itu. Padahal juga masih siang bolong.
Tak seberapa lama, disusul kumandang adzan ashar. Lalu beberapa orang terlihat datang untuk sholat berjamaah. Sambil melihat-lihat peta lagi.
Ada bapak2 nyeletuk, “Wah, mbak e koyok turis ae nggawani peta..”.
Hehe, saya cuma tersenyum. Peta kan bukan cuma buat turis, semua orang yang merasa tidak tahu ya harus punya peta, harus punya pedoman , petunjuk. Lagian, saya kan memang turis, turis lokal! Hahaha…

Selang beberapa menit kemudian saya menghampiri sepeda saya. Dengan tatapan agak heran seorang bapak2, saya melanjutkan perjalanan.
Houwoo.. di masjid Kompak itu kan ada perempatan besar, kalau ke selatan ke arah Jumapolo, kalau ke timur lanjut ke Tawangmangu. Sedangkan kalau ke utara ternyata ke wisata Sondokoro, Sepoer Teboe yang dulu saya pernah main ke sana dengan teman UNS! Yey. :D

Pukul 15.45, saya menyeberang ke kanan, ada polres Karanganyar kalau tak salah. Di situ saya minta ttd pak polisi di atas peta yg saya bawa. Cret oret..Tanda tangan telah dibubuhkan tepat di atas tulisan Karanganyar pada peta saya. (Halah ga penting banget :D)

Pukul 16.15, dahaga kembali melanda, sedang saya saksikan jalanan lurus tampak begitu panjang menanjaakk jauh sekali rasanya (lebay pol). Pantesaann, itu jalan Lawu ternyata! Hahh..
Saya singgah di warung es degan.

Hehe, sampai di sini saya nggak mood melanjutkan. Dulu pernah nulis panjang tapi ilang gak tersimpan je. Tidak semua detail harus diceritakan kan? ;D
Yang jelas, saya berbincang cukup banyak dengan ibu penjual itu, menanyakan rute dan mana-mana yang bisa saya singgahi untuk istirahat malam. Huwa..

Selepas dari warung es degan, perjalanan berlanjut. Parahnya, semakin menanjak rata. Kalau naik motor mah ga terasa. Hehe..

Gayamdompo, 4 September, 17:24 WIB
~Biar semua orang whas whes lalu lalang di jalan, saya cukup legowo untuk turun dan menuntun dengan kecepatan yang turun drastis seiring jalan yang semakin menanjak: 3km/jam!

Mendekati pemukiman warga, saya masih berusaha menguatkan diri. Masjid di sekitar menggoda untuk disinggahi, apalagi mengingat sudah menjelang maghrib. Tapi saya berharap bisa mencapai batas terakhir kekuatan saya. Menuju pemukiman selanjutnya di depan sana.

Masjid Al-Furqon.
Hosh. Masjid ini tepat di seberang kanan jalan kalau dari arah barat. Cukup besar. Sungguh, mungkin itulah titik terakhir yang bisa saya capai hari pertama itu. Sudah hampir gelap.
Setelah memarkir sepeda, masuklah saya ke teras masjid bagian samping. Saya tidak begitu ingat bagian ini. Yang jelas saya bertemu dengan takmir masjid yang sampai saat ini tak saya ketahui namanya. Saya mengaku dari Jogja, bermaksud singgah di masjid tersebut untuk istirahat dan sholat. Bapak takmir itu demikian ramah. Saya dipersilahkan untuk mandi. Ya ampun saudara-saudaraaa.. segeeeeerrrrr banget airnya. Maklum, itu kan memang hampir masuk daerah Tawangmangu.
Senang, akhirnya hari itu saya bisa sholat lagi. Pas deh dengan niat safari ramadhan. Hahaha..
Selepas sholat maghrib, saya jalan kaki keluar, mencari toko. Hiks, haus.
Beruntung saya menemukan toko cukup lengkap. Tapi sayang tak bisa memesan air hangat, hahaha.
Di toko itu pula, saya sekalian menanyakan tempat beli makanan jadi. Kalau tak salah, adanya cuma mie ayam yang nggak meyakinkan di seberang jalan itu. Satu-satunya pula.
Saya kembali ke masjid, berjama’ah sholat isya. Usai sholat, saya mencoba bertanya lagi ke ibu-ibu di samping saya. Yak, katanya tidak ada warung yang buka pas waktu sahur. La la la.. Padahal saya butuh asupan kalori lebih banyak untuk esoknya. Pantes sih, kan memang bukan daerah kampus. Semua warga ya masak sendiri-sendiri. La la la.. hidup ini liar dan penuh tantangan. Hik.

Eh, usai tarawih, saya diberi roti lho sama ibu istrinya bapak takmir yang tadi. Aduh, sungkan dan terharu.
Hm, kampung Karangpandan ini termasuk sepi lho, di jalan gelap gulita. Jadi waktu itu saya mengetikkan status: Kampung ini, rasanya kayak lagi kemah pramuka, KKN, bakti sosial, atau apalah itu namanya.

Malam itu, saya berbincang sebentar dengan bapak dan ibu takmir. Intinya, saya disilakan tidur di dalam masjid, di barisan tempat sholat putri, diapit lemari dan dinding kaca. Bapak takmir berpesan segala macam kepada saya, tentang menaruh HP, pintu ruang masjid yang dikunci, lampu, dsb. Saya juga digelarkan karpet olehnya. Aduh, jadi mellow :’)
Adheeem banget malam itu. Saya berselimutkan mukena yang saya bawa. Saya masih geletakan sambil sesekali baca buku. ACIME.
Mudah bosan. Lalu saya teringat perjalanan esok. Peta saya buka. Setiap kali membaca peta ketika malam hari begitu, deg-degan saya minta ampun. Perut rasanya mules. Hm..
Hampir tengah malam, saya update status FB begini: Sekotak agar-agar bekal tadi pagi, roti pemberian takmir masjid, mizone dingin, dan dukungan teman-teman semua semoga cukup untuk mengganjal perut laparku, haha..

Iya e, malam itu cukup banyak yang sms, hampir semuanya dengan nada mengkhawatirkan, hehe. Saya baik-baik saja, sangat baik. Tapi memang ternyata, setelah diingat-ingat, malam itu adalah hari tercapek saya. Badan pegel semua dan panas rasanya. Padahal udara juga dingin, Jadi campur2 ga enak gitu. :’D
Mungkin ada pengaruhnya karena tepat di dalam masjid, dan karena malam pertama, hehe, sukseslah saya begitu melankolis. Hik. Rasanya jauh dari siapa-siapa. Tapi dekat dengan Tuhan. Nggak dekat sih, Cuma bawaannya pengen nangis.
Dan seolah langit pun turut mengiringi niat perjalanan saya, saya menemukan terjemahan ayat ini: Faidzaa 'azamata fatawakkal 'alalloh..Innalloha yuhibbul mutawakkiliin :: Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kpd Allah. Sesungguhnya Allah menyukai org2 yg bertawakal kpdNya. Hik. Rasanya pas banget kan :’D

Meskipun berkali-kali terjaga, cukuplah tidur kala itu menjadi pelepas lelah dan gundah. Hoho..

Pukul tiga pagi, saya dibangunkan ibu takmir. Sebenarnya saya gak beneran tidur sih, hoo..
Ya allaah, apa yg terjadi? Saya diberi makan sahur. Disediakan nasi, lodeh tewel+ayam, dan sayur kubis +wortel, krupuk kecil juga. Sungkaan banget, tapi apa daya tidak ada pilihan untuk menolak rezeki to.. alhamdulillah buanget! :’D Sayangnya, tentu gak etis kalau ndadak difoto segala, padahal pengen buat kenang-kenangan, hoho.
Selama saya makan, ibu yg rumahnya itu gandeng sama masjid (satu teras), banyak mengajak saya berbincang. Katanya, masjid itu memang sering dijadikan tempat persinggahan rombongan dari tawangmangu. Jadi kenalannya banyak dan dari mana2. Saya juga menyambut cerita ibu dengan antusias, menceritakan asal saya, dan ngobrol ngalor ngidul yang lain.
Kenyang.

Sesaat setelah itu, jamaah shubuh digelar. Dan, tak disangka bahwa ini akan menjadi momen paling mendebarkan, :’D
Sebelum orang-orang bubar, bapak takmir berdiri di mimbar, seolah bersiap mengumumkan sesuatu. Awalnya, saya tidak begitu mendengar karena mulai sibuk berbincang sedikit dengan ibu-ibu di barisan belakang. Hei, apa pengumumannya?
Tentang saya. Iya, tentang saya. Pokoknya bapak takmir mengumumkan kalau ada anak dari Jogja mau pulang kampung ke Blitar dan naik sepeda. Blab la bla.. Ha? Sontak saya lumayan kaget. Konyol je. Seiring dengan itu, saya bersalaman dengan ibu-ibu. Ibu-ibu juga mulai berbisik dan menanyakan ke sebelah2nya, “eh, sopo kae anake sopo sg podho ng jogja” Blab la bla, ya semacam itulah. Aduh, lalu ada seorang ibu yang ketika bersalaman dengan saya sempat bilang bahwa anaknya juga di UGM, katanya “semangat ya”. Ya, begitulah, kalau saya tidak salah dengar. Yang pasti, sinar mata dan raut wajahnya seolah sungguh2 memancarkan energi positif bagi saya. Tatapannya sendu, haru. :’)
Jamaah putri sudah bubar. Saya bersiap packing lagi, merapikan barang-barang.
Satu, dua, tiga, empat. Ya, kalau tidak salah empat bapak takmir masjid mendekati saya. Dan kami mengobrol. Bukan deng, kami sedang berbincang serius. Mulai dari pertanyaan mendasar yang jawabannya sulit saya ungkapkan seketika: mengapa saya jauh-jauh bersepeda, ada yang menyuruh atau bagaimana, sampai pertanyaan mudah soal teknis perjalanan.
Bapak2 itu menyarankan dengan tegas, saya harus naik angkutan sesamainya nanti di terminal Tawangmangu, setelah sebelumnya saya menolak untuk naik bus dari skeitar masjid itu. Mereka begitu khawatir, tapi akhirnya melepas saya dengan wejangan macam-macam. Katanya pula, perjalanan masih jauh, saya yang kemarin menuju Karangpandan saja ngos-ngosan, apalagi sudah akan mendekati kaki gunung beneran. Bisa-bisa maghrib belum sampai di Magetan karena medan jalanan yang cukup ekstrim. Sampai-sampai, saya ditanyai soal uang segala. Huwa..bodohnya saya bilang kalau belum mengambil uang di ATM.. Ya saya pikir uang 50 ribu bekal saya akan cukup2 saja.. Tidak terpikir kalau bakal naik angkutan yang katanya bisa sampai 50 ribu karena kan ngangkut sepeda saya juga. Hoalah.
Pak Paidi, orang yang nantinya akan sibuk meng-sms saya ketika meneruskan perjalanan itu, meminta biodata saya. Nama lengkap, jurusan, nama ayah, nama ibu, alamat kosan, alamat rumah, nomor HP saya. Aduh, sempat berasa kayak akan ‘in memoriam’. :3 Untung nomor HP atau telepon rumah tidak dimintanya juga. Gawat kalau ibu tau sebelum waktunya. Hehe..
Saya punya rekaman pembicaraan saya dengan beliau2 itu lho, hmmm :)
Oh ya, yang lebih membuat saya speechless, bapak takmir yang rumahnya gandeng sama masjid itu menghampiri saya lagi ketika saya hampir berangkat. Disodorkannya dua lembaran 50 ribuan dan satu 20 ribuan. Saya terang menolak, saya bersikeras bahwa saya membawa uang dan akan cukup. Bapak itu pun tidak kalah memaksanya. Katanya sudah kewajibannyalah, bahwa itu rejeki saya.
Yah, sebelumnya mereka memang mengatakan, bahwa karena saya sudah singgah di masjid ini, dan mereka mengetahuinya, tentulah menjadi tanggung jawab mereka juga. Ya allah..
Saya tahu itu pasti uang pribadi bapak takmir itu.. hmm..
(sampai sekarang 50 ribuannya masih saya simpan, biar jadi kenangan yang mengingatkan saya terus akan kebaikan hati manusia, sungguh rasanya berhutang budi sekali :’))

Pukul enam pagi saya berangkat. Tidak ada yang bisa saya berikan untuk bapak takmir, selain sekotak bakpia sekedar pemanis lidah, karena bapak itu telah membuat hati saya begitu manis pagi itu..

Ho, selang satu dua jam perjalanan, saya bohong kalau tidak capek. Tidak sampai ngos-ngosan barangkali, tapi hampir setiap seratus atau dua ratus meter mengayuh, saya berhenti untuk menghirup udara dalam-dalam, dan meluruskan kaki.
Di tengah saya seperti sedang melihat Gunung Lawu, saya memutuskan untuk istirahat di pinggiran jalan. Tidak ada jalanan tanpa batu sandungan. Tiada hidup yang tanpa masalah. Saya terpikir ini:
Aku nggak suka dihakimi. Bahkan sebelum kau minta untuk kujelaskan.
Demi Tuhan aku sakit benar kala itu.
Rasanya ingin luruh di sepanjang jalanan menurun Karanganyar – Solo.
Aku lebih suka kau tak komentar atau bilang ini biasa saja daripada kau bilang ini tak berguna!
Haha, saya sudah lupa sebenarnya, tapi karena terlanjur ditulis, ya ga usah dihapus, hihi.

Lanjut:
Gilaaa, jalanan naik turun dan berkelok-kelok. Saya perang batin. Sempat terbersit ingin diberi tumpangan mobil bak terbuka yang biasanya menyalip, atau paling tidak ikut ditarik motor. Sebentaar saja. Namun tidak ada satu pun yang menyapa, saya berusaha terus mengayuh, dengan nafas kembang-kempis dan semangat naik turun..
Dilematis sekali. Rasanya sayang banget kalau saya harus ‘korupsi’ numpang angkutan begitu, seperti yang sempat disarankan takmir tadi. Tapi sumpaaahh, sampai akhirnya saya berhenti di Otomodachi Cell, di sebelah kelokan, rasanya saya memantapkan diri untuk mencari angkot. Saya berusaha menghibur diri, anggap saja ini subsidi bagi saya yang sedang puasa. Saya tak boleh memaksakan diri. Celakanya, tidak ada angkot yang mneruskan perjalanan kea rah yang saya tuju. Semua angkutan desa belok ke ruas jalan sebelum Otomodachi Cell. Ya Allah, saya benar-benar berharap. Tapi sayangnya saya juga tak cukup nyali memberanikan diri mencegat kendaraan apapun. Hingga akhirnya saya menghampiri pangkalan ojek di dekat situ, tanya ini itu, memastikan bahwa memang dari situ tidak ada angkot ke arah Tawangmangu. Yak, dan akhirnya, saya naik ojek!
Hampir 10 km jalanan naik turun, berkelok-kelok khas pegunungan, saya duduk di belakang pak ojek sambil memangku erat sepeda saya. Sesekali motor mandeg di jalanan menanjak yang parah, parah abis. Saya bersyukur di tengah kebingungan saya melihat terminal, sepertinya tidak ada angkutan waktu itu, entah kalau saya salah lihat, yang jelas naik ojek juga enak.

Singkatnya, saya turun di dekat Cemoro Kandang kalau tidak salah, pos pendakian G. Lawu. Ya, setelah membayar 30 ribu rupiah, kini saya harus meneruskan perjalanan dengan kaki dan pedal sepeda saya sendiri. Hohoho, mneyenangkan sekaliii, jalan banyak turunannya setelah itu. Ya memang, pokoknya menuju Sarangan itu kebanyakan menurun. Wooowww, mak wush wush, turunan dan kelokan tajam membuat saya harus gesit memainkan rem. Hahaha, tapi ini lebih asik daripada main genjot pedal :P Meskipun sebenarnya bapak2 takmir itu lebih mengkhawatirkan saya ketika melewati turunan, katanya karet rem bisa habis tergesek terus.
Huwooo, sampai di Sarangan, saya bertemu pak polisi2, setelah minta ttd dan petunjuk jalan, saya mak wush wush terus menuju Magetan kota. Jalannya masih menurun terus, bahkan saya berani jamin, kecepatan saya meningkat sangat signifikan, bisa 50km/jam, lha wong motor2 saya salip i. Wush pokoknya. Enak banget, sampai bisa lepas setir segala. Dan konyolnya, pakaian yang saya cuci di masjid dan saya jemur di keranjang sepeda langsung cepat kering lho. Panas banget soalnyaa :D

Ujian kembali dimulai. Tenggorokan kering, lidah pahit, panas menyengat.
Ini dua status FB saya di selang waktu itu:
Es krim dan softdrink begitu menggoda, kemarin bisa beli seenaknya, sekarang tinggal menelan ludah, laa haula wala quwwata illa billah.. (Sun, 05 Sep)
nggeblak dan lgsg terkulai di masjid: ditegur dimarahi bapak. tak apa, tdk semua orang bisa mengerti.. (Sun, 05 Sep 2010)

Hei, setengah sakit hati karena terusir dari masjid, saya benar-benar dehidrasiiiiiii.. puahit. Puanas.
Saya mokel lho, teman-teman.. setelah mengalahkan rasa ragu bahwasanya saya sudah dijamu makan sahur tapi kok akhirnya membatalkan puasa sekitar pukul satu siang. Huwaa..
Kalap, saya makan semangkok bakso+nasi dengan porsi jumbo. Juga meneguk es teh, fanta, dan membuat sendiri soda gembira yang ternyata susunya sudah kekuningan alias kadaluwarsa. :3

Lantaran capek dan panas yang luar biasa, saya menggelosor di lantai dan bertumpukan kursi, memutuskan istirahat dulu sembari menunggu panas agak jinak.

Dari Plaosan, Magetan itu, saya bersemangat untuk kembali menyusuri jalanan pulang yang masih teramat jauh.
Dan seterusnya, sampai ke arah Madiun, hujan-hujanan, berteduh di markas partai banteng, berkali-kali disalib bus-bus besar AKAP dengan sangat tidak sopan, hahhaha. Selepas maghrib minum ronde di Madiun, sholat tarawih di Caruban, bertemu anak SD bernama Rohma dan Hanifa yang penasaran melepas kepergian saya di tengah rintik hujan. Lalu pukul 8 malam tiba di sekitar Saradan yang gelap gulita, harus menunggu kendaraan lewat sebagai penerangan, menyusuri jalanan dan berkali-kali terdesak ke pinggir aspal, menghampiri pos polisi lebaran, sampai akhirnya singgah juga di kawasan asrama TNI Senopati. Ya, dan saya menemukan lagi pertolongan Tuhan yang dititipkan melalui segala kebaikan manusia. Di masjid, KTP saya diperiksa, bla bla bla, lalu disilahkan ke rumah saja, menjumpai keluarga yang begitu hangat hingga saya tak terlalu sungkan. Berasa keluarga sendiri. Bercerita macam-macam, kompak, seru, menyenangkan, tidak terduga, dan dijamu aneka rupa sampai makan sahur.

Hingga esoknya terasa semakin dekat dengan kampung halaman, masuk Nganjuk, dilempari senyum dari dalam mobil yang menunggu palang kereta dibuka, dst.

hosh hos..setelah tanjakan selalu ada turunan, setelah kesulitan pasti ada kemudahan.. (Mon, 06 Sep 2010)
Euforia: Kemarin lusa dominan AB, kemarin AD dan AE. Sekarang semua AG!! Hahaha, Alhamdulillah...AYOO, 100an km lagi! (Mon, 06 Sep 2010 01:28:15 GMT)

Mampir warnet: hehehhehhe... ternyata Nganjuk yg pedesaan kayak gini sudah ada warnetnya.
weleh2.... :D (Mon, 06 Sep 2010 03:14:26 GMT)

Kampanye terselubung: setelah ngeprint 'layanan iklan masarakat' ini, kendaraan saya semakin istimewa: semoga salah satu misi saya tsb tersampaikan ;) (Mon, 06 Sep 2010)

Haha, ngerti kan kalau itu kumpulan status..?! :P

Juga soal kehebohan teman-teman yang mencuat seketika.Sms bertubi-tubi dan dinding FB yang ramai. Sambutan sahabat-sahabat saya di Kediri, bertemu Bu Welasih yang tidak saya kenal di jalan yang dengan welas asihnya memberikan ‘cindera mata’ untuk saya, dengkul ngilu, telepon dari kakak kelas SMA.. buka bersama, blab la bla bla..

Hingga tepat pukul setengah sembilan malam pada hari ketiga perjalanan, tibalah saya di rumah tercinta. Huahahaha.. singkat sekali ya!

Hm, salah satu kata bapak, saya tidak akan mendapatkan semua ini jika niat saya macam-macam. Justru karena tidak terpikir apapun: orang baik, uang, tempat teduh, makanan, jadi saya mendapat pertolongan-pertolongan yang tak terlupakan..

==================================================================

Tentang catatan-catatan yang tak selesai (ini kayaknya terinspirasi judul apaaa gitu):

Sepeda, setidaknya merupakan solusi konkrit yang sejauh pengetahuan saya sama sekali belum pernah disentuh oleh rektorat dan kroni-kroninya, baik oleh sosialisasi yang minim maupun oleh sekedar selebaran humas.

Berdayakan sepeda, kasih himbauan lah.. berikan ketersediaan yang memadai dan memudahkan. jangan hanya melarang sana sini dengan peraturan dan sosialisasi minim yang konyol minta ampun!
Hahh.
Saya sering bilang pngn bgt mmberdayakan sepeda.
KIK, lebih enak nerobos2 kampus dgn sepeda, ga perlu ngantri KIK, gak bla bla bla


Konsistensi.
Membangunnya susah-susah gampang. Dan kalau itu sudah terbentuk, sebenarnya jadi lebih gampang untuk mengembangkan link..
Saya kira bisa lho ini untuk modal menggaet rektorat, kemudian diteruskan ke polygon, kompas, dan semacamnya yang selama ini memang sudah begitu vokal terhadap gerakan hijau. #abaikan


Kadang, saya bosan teriak menggertak soal KIK. Sekarang rasanya ingin melihat apa yang bisa dilakukan rektorat selain ‘cuma’ bikin terop yang menghambat! (23 September 2010)

Saya sempat mikir salah sasaran sih sebenarnya. kampanye terselubung justru dilakukan ketika di pedesaan..
Tapi tak apa, saya pikir orang tua yang terketuk hatinya sedang belajar untuk mengajari anak-anaknya tidak fasih menuntut.


Lanjut ke jalan semula:

Awalnya saya heran mengapa teman-teman #ngasal ngomong mau menyambut saya di Blitar. Saya merasa aneh sih, apalagi sewaktu SMA saya tak begitu dekat dan akrab mengobrol dengan beberapa di antara mereka padahal. Hehe. Belakangan saya menemukan banyak artikel di kompas.com tentang kegiatan bersepeda yang di setiap etape perjalanan mereka memang disambut ger-geran gitu. Hoo..*manggut-manggut.
Akhirnya, terima kasih yang tak terhingga atas semangat, dorongan, motivasi, bahkan komentar ‘menggila2kan’ saya. Saya justru berterima kasih karena itu semua menyuntikkan semangat saya sampai detik terakhir. Perjalanan saya jadi menyenangkan sekali teman-teman, mengharukan. Sama sekali saya tidak menyangka akan sedemikian rupa waktu itu. Maaf kala itu tak jadi sempat membalas wall post satu satu :))


Oh ya, waktu itu, menjawab pertanyaan2 besok balik ke jogja naik sepeda lagi tak?
Dengan yakin saya jawab tidak:
Bukan karena kapok atau apa, sama sekali.
Motivasi itu perlu dibangun, saya bukan tipe orang yg menganut kegilaan sembarangan.
Kalau anda merasa saya sembrono, saya easy going, nekat, blab la bla..
Tidak salah.
Tiga hari di jalan itu juga perlu perhitungan, soal budget juga iya.
Kemarin saya banyak belajar. Hahahha..
Kalau kita tak punya motivasi tertentu, sama saja dengan buang waktu.
Bukan semata soal go green kemarin itu, kalau cuma segelintir orang dan jarang-jarang, malah rute jauh tapi tidak konsisten, istiqomah, apalah gunanya? Dan demi warisan yang lebih baik bagi anak cucu, mari meneguhkan diri dan berdoa supaya konsisten peka lingkungan dengan cara apapun yang paling kita mampu, mudah, dan kita suka! Saya sama sekali tak anti kok kendaraan bermotor, tapi memakai kendaraan sesuai kebutuhan itu penting. Yah, semoga Tuhan menyelamatkan saya dari kata-kata saya sendiri.

Dan masih, suatu hari nanti, saya pengen jogja-jakarta nyebrang ke sumatera! Atau Bali-Lombok. Yg dekat2 dulu saja. ;p
Ada yg mau ikut? ;)

~Entah motivasi mana menunggang motif yang mana..
Ortu vs kampanye atau sebaliknya.

Saya tidak merasa telah melakukan sesuatu.
Saya sadar penuh ini beresiko terhadap bersih dan tidaknya hati saya.
Tapi tak mengapa, menjadi lilin yg dibilang sok-sokan masih mending daripada merutuki dalam diam.

Anda terinspirasi? Semoga lebih baik.
Salam. :)



NB:
Haha, tulisan ini memang dipaksakan selesai. Semalam tidak tidur. Hasilnya masih compang-camping di sana sini. Lha bosan e lama-lama basi di kepala dan HD penuh. Lagipula, biar tulisan ini mengantarkan perjalanan saya selanjutnya, hari ini. :)