Sunday, May 23, 2010

Menilik Internet dan Anak : Dapatkah Berkawan Baik?*

Seringkali kita menyeletuk ketika semisal ada pertanyaan, “Bagaimana hubungan antara x dengan y dalam kurva z? Dan dengan entengnya kita menjawab, “Baik-baik saja.”
Lalu ketika hal itu dianalogikan terhadap hubungan anak dengan internet, masihkah kita berani bercanda dengan jawaban baik-baik saja? Padahal faktanya banyak kasus anak yang bermasalah ketika bergaul dengan internet.
Selain kasus anak di Surabaya yang melibatkan jejaring sosial Facebook beberapa waktu yang lalu, banyak pula kejahatan seksual terhadap anak berupa prostitusi, dijadikan obyek seks komersial, juga ‘dijahili’ oleh para pedofil. (Ahmad Sofian, via Kompasiana: 23 Maret 2010)
Mengerikan memang. Tak perlu jauh-jauh, waktu anak yang sudah sedemikian tersita untuk menjelajah dunia maya hingga melupakan kebutuhan belajar dan bersosialisasinya pun merupakan dampak tersendiri yang cukup memprihatinkan.

Sarana pemuas rasa keingintahuan anak yg begitu besar.

Era di mana teknologi berkembang begitu pesat seperti ini tentu memudahkan untuk saling berinteraksi dan bertukar informasi. Sejak perkembangannya yang begitu pesat pada 2000-an, keberadaannya menyedot perhatian semua lapisan masyarakat, tak terkecuali anak-anak.
Memang seringkali rasa keingintahuan anak yang begitu besar dapat terjawab oleh internet. Misalnya saja anak dapat dengan mudah mengetahui sistem tata surya untuk penunjang ilmu alamnya barangkali. Namun, ketika segala informasi semakin mudah diakses tanpa batas itu pula-lah yang mengharuskan kita menjaga kewaspadaan terhadap pergaulan anak dengan internet.

Apa yg terjadi dengan anak-anak?
Meskipun bukan sebuah kesimpulan, tidak berlebihan kiranya, jika dikatakan bahwa anak hampir kehilangan dunianya , bahkan di dunia internet.
Sebagai contoh, lagu-lagu anak kini sulit ditemui di blantika musik Indonesia. Anak-anak maupun artis cilik lebih akrab dengan lagu-lagu remaja dan dewasa. Download lagu Kring Kring Goes Goes-nya Amel Carla saja susahnya minta ampun. Mencari situs anak pun tidak semudah ketika mengakses informasi umum lainnya. Keasikan anak-anak mengakses jejaring sosial melulu atau bahkan konten berbau esek-esek bisa jadi akibat kurangnya sumber daya yang bisa diakses anak.

Internet sebagai stimulan bagi tumbuh kembang minat dan bakat anak.

Kurang bijaksana kiranya, jika internet yang hanya berperan sebagai media terus-menerus dipersalahkan hingga menimbulkan internet phobia. Padahal, internet tidak selamanya menjadi momok yang mesti ditakuti.
Sebenarnya orang tua dapat memanfaatkan internet sebaik mungkin. Di antaranya sebagai sumber juga perpustakaan ilmu dari seluruh dunia untuk anak-anak, asalkan penggunaan internet dengan benar ini dijelaskan oleh orangtua sebelumnya. (Seto Mulyadi, via Okezone: 28 April 2010)
Wah, kalau mau memanfaatkan dengan baik, internet bisa jadi ajang sosialisasi pun menumbuhkan jiwa kompetitif bagi anak. Misalnya saja, bikin komunitas para ibu dan anak, sebagai media interaksi pun sharing baik antar ibu maupun antar sesama anak. Baik juga mencoba membuat blog kelas yang dimotori oleh guru di sekolah. Postingkan pula karya anak misalnya puisi dan foto lukisan mereka.

Kebutuhan baca menjadi hal utama dalam pendidikan anak. Oleh karena itu, orangtua bisa mencarikan sumber pengetahuan melalui internet. Hal itu tidak hanya lebih efisien, tapi juga bisa dijadikan sebagai sarana mengenalkan internet kepada anak. Orangtua juga bisa mendownloadkan aplikasi game berupa flash yang lebih bermuatan pendidikan daripada video game biasa yang seringkali berunsur kekerasan. Secara tidak langsung, orang tua memiliki kesempatan mengajarkan kepada mereka apa-apa saja yang boleh diakses dan tidak. Bukankah itu sama artinya dengan mengenalkan dunia baru yang lebih sehat dan kritis bagi anak?

Tindak lanjut orang tua
Ketika anak menggunakan internet, ada baiknya tidak me-load images untuk mengantisipasi munculnya gambar –gambar porno atau konten berbahaya lainnya. Yang terpenting, dampingi si anak ketika menggunakan internet. Selain menumbuhkan kedekatan antara orang tua dan anak, hal itu menjadi momen untuk mengenalkan seputar internet dan etika berinternet (nettiquette). Jadi, ketika anak-anak terpaksa online sendiri, mereka memiliki bekal berinternet dengan baik dan benar.
Upaya lain yang bisa dilakukan orangtua yaitu membatasi durasi online si anak agar alokasi waktu mereka tetap terkontrol. Dan perlu dicatat bahwa membiarkan anak sembarangan mengetikkan kata kunci lewat search engine tentu bukan langkah bijak. Dikhawatirkan, akan muncul konten-konten berbahaya yang tidak sesuai dengan usia anak. Bahkan, kerap kali informasi yang diakses memang seputar dunia anak, tetapi banyak konten lain atau iklan di sekitar website yang bukan konsumsi anak.
Jika anak hanya online di rumah, tentu pengontrolan dari orang tua lebih mudah. Dengan fasilitas yang ada pada browser, orangtua dapat menyetel pengaturannya bahkan memblokir situs-situs tertentu. Namun, maraknya warnet di sekitar kita hendaknya menjadikan orang tua lebih perhatian terhadap aktivitas anak.

Di samping orang tua yang memberikan keleluasaan pada anak untuk berinternet ria, adakalanya masih banyak orang tua yang segan jika anaknya harus bergaul dengan internet. Kasus-kasus yang telah disebutkan di atas kiranya menjadi salah satu aspek yang menambah daftar panjang antipati mereka terhadap internet.
Mungkin mereka lebih memilih metode pendidikan ala biasa tanpa banyak melibatkan teknologi bernama internet. Toh, pengetahuan anak tetap dapat berkembang dengan baik asal gemar membaca buku, mungkin begitu kilahnya.
Tidak masalah sebenarnya memilih tetap konvensional atau berani mencicipi pahit manisnya teknologi dengan tetap menjunjung tradisi. Yang patut digarisbawahi, bahwasanya anak merupakan investasi jangka panjang dalam keberlangsungan sebuah negara. Belum lagi dengan melihat dampak negatif atas pola hubungan anak dengan internet, seyogyanya sudah cukup membuat kita terketuk bahwa banyak hal yang harus dibenahi di setiap lini. Maka, mari bergerak selamatkan dunianya. : )

Selesai.
*ditulis untuk mengikuti lomba blog aksikreasi #2 Bulaksumur dan sebagai bentuk kepedulian kecil terhadap dunia anak.

Saturday, May 8, 2010

Ajaran macam apa cinta IkaL - A Ling?!

Ditulis pertama kali pada 4 Januari 2009 dengan menggebu-gebu.
Edit bahasa dan tulisan: 22 Maret 2010 :D
Masih ingat Maryamah Karpov, sobat?
Ini tulisan ketika saya sedang dalam proses menyelesaikan novel setebal itu :


(sumber gambar)


(sumber gambar)

Kenapa mesti A Ling? Aku rasa perjuangan IkaL adalah untuk mengajari bagaimana kita memperjuangkan mimpi/cita2, bukan cinta, seperti yg ia lakukan sendiri. Kenapa A Ling?! Aku tidak habis pikir secerdas otak IkaL semuanya dipersembahkan buat A Ling se0rang?? Pernahkah kau brpikir sepertiku kawan? Yang hampir tergelitik atau malah ingin muntah2 menyimak sejuta cara IkaL untuk menemui pujaan hatinya..
Sungguh,aku hanya menggeleng2 betapa sejuta pesona hidup IkaL luluh lantak di mataku hanya karena sejuta cintanya untuk A Ling.. Ah,tapi hanya di mataku kok, tentu bagi banyak pembaca Maryamah Karpov lain tidak serupa. Hm,apa memang aku yang buta soal cinta?? Atau karena aku hanya berusaha realistis terhadap segala hal,utamanya soal cinta? *Saya jadi teringat tulisan di kaos Joger saya, bunyinya:

Haha.. #ILoveQuotes.
Hm, sedikit lama aku berpikir, apa aku saja yang picik ketika membaca cerita IkaL?! Bukankah kerealistisan itu salah satu kendala penghambat cita?! Aku rasa IkaL tak pernah realistis soal mimpinya, makanya Tuhan selalu memeluk mimpi2nya itu.

Aku kembali bertanya, kenapa mesti A Ling?? Aku jadi penasaran, perempuan macam apakah si A Ling tersebut, seingatku IkaL tak pernah menceritakannya dengan begitu detail. Hanya paras kuku2 A Ling yang cantik begitu juga senyumnya yang sampai kini memikat IkaL dalam dimensi mimpi dan rindunya. Sebegitu mengandung toxic-kah perempuan itu di mata laki2 seperti lagu yang dibawakan The Changcuters hingga Ikal rela menukar nyawanya hanya demi sekulum senyum A Ling?! Ahh, kerasionalan logika laki-laki memang sering perlu dipertanyakan.. Atau, cinta pada dasarnya tak kenal logika?
Ahh, tak adakah yg lebih indah di dunia ini selain urusan cinta dan tetek bengeknya??
Bah.
Hm, setelah aku mereview kembali ingatanku soal cerita IkaL - A Ling,aku baru saja menemukan sesuatu. Kawan tentu tahu betapa melownya cerita orang sedang mabuk cinta dalam mendramatisasi ceritanya. Betapa banyak cerita melankolis, para pencinta selalu ditampilkan tergolek lemah atau sakit2an karena tak jua bertemu pujaan hatinya, atau karena cinta yang bertepuk sebelah tangan, dsb. Seperti Maria yang kehilangan 'separuh nyawa'nya karena Fahri, atau cinta tragis Jani kepada Radit (film Radit dan Jani). Hm, sedangkan dalam cerita Andrea Hirata, kemelankolisan Ikal hampir sama sekali tidak tampak. Cintanya terbungkus apik dengan semangat yang menggelora hingga terkesan heroik, meski sebenarnya melas tiada tara..

Perjuangannya berjibaku dengan keadaan alam Eropa Afrika beserta segala kesulitan yang menghadangnya, menjadi pendulang timah, usaha Berae demi rupiah2 untuk modal menyingkap misteri A Ling, sampai pada akhirnya membuat perahu sendiri dengan teori2 sumbangan Lintang adalah kenekatan luar biasa yang menampilkan semangat perjuangan Ikal yang sebenarnya menurutku adalah lebay, cengeng!
Itulah, melankolisnya Ikal dalam impiannya terhadap A Ling digambarkan dengan semangat, pantang menyerah, tekad-nekad yang sudah menyetan dalan diri Ikal hingga menjiwai seluruh lakunya.
Bukan cinta yg mellow,melankolis, dramatis, tangis, terkulai, tragis sampai menemui mati.

Ya, setiap orang berhak mengapresiasi buku yang dibacanya sekehendak hatinya. Maksudku sekehendak hati yaitu bagaimana caranya ia menginterpretasi, menerjemahkan dengan cara pandang tertentu, dengan maksud agar mengena dan membarikan manfaat bagi (utamanya) dirinya.
Seperti halnya dalam cerita ini, aku masih bersikukuh dalam cara pandangku bahwa Andrea Hirata mengajari kita bagaimana memperjuangkan mimpi hingga mengantarkan sampai ke langit lapis 7 biar dipeluk Tuhan. Bukan bagaimana cara kita pantang menyerah memperjuangkan seseorang apalagi hanya sebatas lelaki atau perempuan yang belum tentu menjadi milik kita! Jadi kita dapat mengambil sedikit pelajaran bahwa cara Ikal menuju perwujudan citanya adalah dengan tindakan-tindakan produktif, bukan bermalas-malasan bermuram durja di kamar!

Meskipun menurutku perjuangan-perjuangan cinta macam begitu itu masih saja tak jauh beda dengan cara manusia merendahkan dirinya,demi cinta A Ling?(ingin muntah aku rasanya)tapi setidaknya semangat pantang menyerah itulah yang patut kita teladani.

Sekian.

Saturday, May 1, 2010

Menulis? (Hasrat Menulis part 1)

"Kau, Nak, paling sedikit kau harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari...." (Pramoedya A. Toer)



Sebelumnya, izinkan saya sedikit mengurai sejarah.

Aku menulis di segala tempat, di segala suasana, di segala media tulisan: kertas, catatan keuangan, tepi modul SMA, loose leaf. Menumpuk di sela-sela kolom koran, notes hape selalu, di telapak tangan, bahkan sewaktu di kamar mandi, Aku menulis di balik kartu UAN SMP, di notes kecil, di segala buku pelajaran, menyoret2 buku, lalu merobeknya… Saya benar-benar semena-mena!!

Bahkan dulu pernah ketika masih suka menangis, saya tutup pintu kamar, masuk kolong tempat tidur, membawa spidol hijau dan menuliskan kata-kata sederhana yang menyesakkan di setiap bilah permukaan kayunya yang meraung di sana. (adakah bagi kritikus sastra satu kalimat di atas sedikit tidak logis? Saya butuh koreksi.)

Tak peduli kata-kata itu hasil pemikiran, atau sekedar rekaman kisah harian.



Hehe.



Tahun lalu, pada 14 November saya menulis:

Saya suka cerita saya, sejarah hidup saya. Ya, seharusnya setiap orang bertanggungjawab terhadap hidupnya sendiri, terhadap sejarahnya.



“Bayangkan kalau tradisi menulis nggak pernah ada,

kalau tradisi merekam peristiwa, gagasan, dan perasaan nggak pernah ada,

apa kita bakal mengenal siapa ennek moyang kita?

Bayangkan kalau anda tidak menulis,

tak berusaha merekam gagasan dan pikiran-pikiran Anda,

apa cucumu nanti akan kenal siapa kamu?



Seandainya kakek saya, semasa hidupnya menulis sesuatu, mungkin sekarang saya mengenal siapa dia. tetapi itu tak pernah terjadi. Tak selembar pun tulisan yang diwariskan kakek pada saya. Saya tak pernah tahu isi kepala kakek, selain bahwa dia adalah seorang seorang lelaki tua leluhur saya. Maka jangan salahkan saya, jika saya lebih mengenal Karl Marx, Jostein Gaarder atau Pramoedya Ananta Toer, yang bukan siapa-siapa saya, daripada kakek saya sendiri.



Dendam itulah menjadi energi besar yang mendorong saya untuk terus menulis. saya tak mau dilupakan sejarah. saya mau jadi orang yang berkesadaran sejarah. Maka saya memutuskan untuk menulis. Agar kelak, jika cucu saya tak sempat tahu apa yang kakeknya pikirkan dan bicarakan semasa hidupnya, ia bisa mengenal kakeknya lewat tulisan-tulisannya!” (WIA~Fahd Djibran~JuxtaPose)



Saya pikir, itu alasan sederhana sebenarnya, tapi tidak cukup kerdil. Sebab nantinya bisa jadi akan melahirkan sesuatu yang spektakuler, dan menurut saya itu terbukti melalui buku WIA Fahd Djibran itu sendiri.



Saya bersyukur telah sadar hal itu jauh-jauh hari, sekecil apapun artefak pembentuk sejarah: sms, nota, karcis, kertas kado bekas, atau apapun yg pernah menjadi bagian dari sejarah saya, saya simpan baik-baik, apalagi notes HP, hwah.

Saya tak mau sejarah saya nantinya akan belang bontang hanya karena arsipnya yang tak lengkap.

Dan ingat, sekecil apapun catatan itu, jangan dibuang. Suatu saat catatan-catatan itu akan menjadi kekayaan kita yang paling berharga. (kutipan dari buku Writing is Amazing karya Fahd Djibran)



Suatu ketika tanggal 2 November 2009 saat saya hendak balik ke Jogja dan memboyong segepok ‘kertas hidup’ _karena mereka bisa bicara_ saya membesarkan hati dengan kalimat ini:

“mungkin mereka bilang ini sampah. tapi menurutku ini sejarah! :)”



Hm, saya tak mau sejarah saya bernasib sama seperti kebanyakan sejarah Indonesia yg diajarkan semasa sekolah dasar-menengah: jadi kabur, atau sengaja dikaburkan.



Semua berawal dari kesadaran. Saya sadar, saya bukan orang besar yg pernah berjasa banyak, mana mungkin sejarah saya akan ditulis orang, siapa yg tertarik?!

Mas BuLBuL saja dalam komentarnya pada status saya pernah nyeletuk: “Halah, kisah hidup e Lady po menarik, hahah..”

Ada yang ingat itu?! wkwk..

Secara tidak langsung saya membenarkan: “hahah…” :D

Dan yg tak kalah penting, menurut hemat saya kecenderungan terjadinya subjektivitas justru lebih kecil kemungkinannya. Karena pada prinsipnya kita sendiri yg lebih mengetahui sejatinya diri kita, apalagi jika brhubungan dgn pemikiran. Bukan berdasarkan pandangan org lain mengenai diri kita.

Kita bisa brtindak lebih objektif ketika membaca diri sendiri.



Saya sering menyemangati diri sendiri, dan saya kira itu memang sangat perlu to, dalam hal apapun kan..?! :)



Enam November tahun lalu: “menulis jangan lagi menunggu mood, tp ciptakanlah selalu m0od yg baik utk menulis! Lalu brlatihlah menulis yg baik! Huhuhu”



Atau saya merasakan sesuatu dan mencatatnya:

"bahkan partikel terkeciL penyusun tubuhku adalah kata. kata... "(05/11/2009)



Pernah juga saya bilang: Saya tidak memuja tulisan. Saya hanya berusaha membuat tulisan yang pernah saya telurkan berumur lebih panjang..



Atau juga berupa tekad, angan, impian, harapan:

Hm, suatu saat nanti, saya merasa sangat ingin menulis autobiografi, mengisahkan setiap jengkal cerita khdupan saya bersama mereka, bersama mereka, dan atas hidup saya sndri. Tidak luar biasa, tp entah sy mrasa sngat perlu berbagi dgn dunia, menuangkan ragam pmkirn yg tak ada habisnya. Entah krn niat baik atw sekedar unjuk ego demi eksistensi.. (25/10/2009)



Oya, berkaitan dengan sejarah, komitmen menyuarakan, hingga keabadian yang pernah saya singgung itu, Pak Pram dgn otak ampuhnya lagi lagi sudah duluan berbicara:

"....orang boleh pandai setinggi langit

tapi selama ia tidak menulis,

ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

Menulis adalah bekerja untuk keabadian.



Seketika saya terlecut dan meletup-letup ketika membacanya pertama kali di stiker Canopy dari Universitas Brawijaya yang tertempel di pintu sekretariat Balairung UGM.

Semoga anda pun begitu, entah ketika sudah membacanya yang ke berapa kali.



Ya, maka marilah menulis, torehkan sejarahmu! :)