Saturday, May 1, 2010

Menulis? (Hasrat Menulis part 1)

"Kau, Nak, paling sedikit kau harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari...." (Pramoedya A. Toer)



Sebelumnya, izinkan saya sedikit mengurai sejarah.

Aku menulis di segala tempat, di segala suasana, di segala media tulisan: kertas, catatan keuangan, tepi modul SMA, loose leaf. Menumpuk di sela-sela kolom koran, notes hape selalu, di telapak tangan, bahkan sewaktu di kamar mandi, Aku menulis di balik kartu UAN SMP, di notes kecil, di segala buku pelajaran, menyoret2 buku, lalu merobeknya… Saya benar-benar semena-mena!!

Bahkan dulu pernah ketika masih suka menangis, saya tutup pintu kamar, masuk kolong tempat tidur, membawa spidol hijau dan menuliskan kata-kata sederhana yang menyesakkan di setiap bilah permukaan kayunya yang meraung di sana. (adakah bagi kritikus sastra satu kalimat di atas sedikit tidak logis? Saya butuh koreksi.)

Tak peduli kata-kata itu hasil pemikiran, atau sekedar rekaman kisah harian.



Hehe.



Tahun lalu, pada 14 November saya menulis:

Saya suka cerita saya, sejarah hidup saya. Ya, seharusnya setiap orang bertanggungjawab terhadap hidupnya sendiri, terhadap sejarahnya.



“Bayangkan kalau tradisi menulis nggak pernah ada,

kalau tradisi merekam peristiwa, gagasan, dan perasaan nggak pernah ada,

apa kita bakal mengenal siapa ennek moyang kita?

Bayangkan kalau anda tidak menulis,

tak berusaha merekam gagasan dan pikiran-pikiran Anda,

apa cucumu nanti akan kenal siapa kamu?



Seandainya kakek saya, semasa hidupnya menulis sesuatu, mungkin sekarang saya mengenal siapa dia. tetapi itu tak pernah terjadi. Tak selembar pun tulisan yang diwariskan kakek pada saya. Saya tak pernah tahu isi kepala kakek, selain bahwa dia adalah seorang seorang lelaki tua leluhur saya. Maka jangan salahkan saya, jika saya lebih mengenal Karl Marx, Jostein Gaarder atau Pramoedya Ananta Toer, yang bukan siapa-siapa saya, daripada kakek saya sendiri.



Dendam itulah menjadi energi besar yang mendorong saya untuk terus menulis. saya tak mau dilupakan sejarah. saya mau jadi orang yang berkesadaran sejarah. Maka saya memutuskan untuk menulis. Agar kelak, jika cucu saya tak sempat tahu apa yang kakeknya pikirkan dan bicarakan semasa hidupnya, ia bisa mengenal kakeknya lewat tulisan-tulisannya!” (WIA~Fahd Djibran~JuxtaPose)



Saya pikir, itu alasan sederhana sebenarnya, tapi tidak cukup kerdil. Sebab nantinya bisa jadi akan melahirkan sesuatu yang spektakuler, dan menurut saya itu terbukti melalui buku WIA Fahd Djibran itu sendiri.



Saya bersyukur telah sadar hal itu jauh-jauh hari, sekecil apapun artefak pembentuk sejarah: sms, nota, karcis, kertas kado bekas, atau apapun yg pernah menjadi bagian dari sejarah saya, saya simpan baik-baik, apalagi notes HP, hwah.

Saya tak mau sejarah saya nantinya akan belang bontang hanya karena arsipnya yang tak lengkap.

Dan ingat, sekecil apapun catatan itu, jangan dibuang. Suatu saat catatan-catatan itu akan menjadi kekayaan kita yang paling berharga. (kutipan dari buku Writing is Amazing karya Fahd Djibran)



Suatu ketika tanggal 2 November 2009 saat saya hendak balik ke Jogja dan memboyong segepok ‘kertas hidup’ _karena mereka bisa bicara_ saya membesarkan hati dengan kalimat ini:

“mungkin mereka bilang ini sampah. tapi menurutku ini sejarah! :)”



Hm, saya tak mau sejarah saya bernasib sama seperti kebanyakan sejarah Indonesia yg diajarkan semasa sekolah dasar-menengah: jadi kabur, atau sengaja dikaburkan.



Semua berawal dari kesadaran. Saya sadar, saya bukan orang besar yg pernah berjasa banyak, mana mungkin sejarah saya akan ditulis orang, siapa yg tertarik?!

Mas BuLBuL saja dalam komentarnya pada status saya pernah nyeletuk: “Halah, kisah hidup e Lady po menarik, hahah..”

Ada yang ingat itu?! wkwk..

Secara tidak langsung saya membenarkan: “hahah…” :D

Dan yg tak kalah penting, menurut hemat saya kecenderungan terjadinya subjektivitas justru lebih kecil kemungkinannya. Karena pada prinsipnya kita sendiri yg lebih mengetahui sejatinya diri kita, apalagi jika brhubungan dgn pemikiran. Bukan berdasarkan pandangan org lain mengenai diri kita.

Kita bisa brtindak lebih objektif ketika membaca diri sendiri.



Saya sering menyemangati diri sendiri, dan saya kira itu memang sangat perlu to, dalam hal apapun kan..?! :)



Enam November tahun lalu: “menulis jangan lagi menunggu mood, tp ciptakanlah selalu m0od yg baik utk menulis! Lalu brlatihlah menulis yg baik! Huhuhu”



Atau saya merasakan sesuatu dan mencatatnya:

"bahkan partikel terkeciL penyusun tubuhku adalah kata. kata... "(05/11/2009)



Pernah juga saya bilang: Saya tidak memuja tulisan. Saya hanya berusaha membuat tulisan yang pernah saya telurkan berumur lebih panjang..



Atau juga berupa tekad, angan, impian, harapan:

Hm, suatu saat nanti, saya merasa sangat ingin menulis autobiografi, mengisahkan setiap jengkal cerita khdupan saya bersama mereka, bersama mereka, dan atas hidup saya sndri. Tidak luar biasa, tp entah sy mrasa sngat perlu berbagi dgn dunia, menuangkan ragam pmkirn yg tak ada habisnya. Entah krn niat baik atw sekedar unjuk ego demi eksistensi.. (25/10/2009)



Oya, berkaitan dengan sejarah, komitmen menyuarakan, hingga keabadian yang pernah saya singgung itu, Pak Pram dgn otak ampuhnya lagi lagi sudah duluan berbicara:

"....orang boleh pandai setinggi langit

tapi selama ia tidak menulis,

ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

Menulis adalah bekerja untuk keabadian.



Seketika saya terlecut dan meletup-letup ketika membacanya pertama kali di stiker Canopy dari Universitas Brawijaya yang tertempel di pintu sekretariat Balairung UGM.

Semoga anda pun begitu, entah ketika sudah membacanya yang ke berapa kali.



Ya, maka marilah menulis, torehkan sejarahmu! :)

No comments: